Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul ‘Tidak boleh memberikan bagian hewan kurban kepada jagal barang sedikitpun’. Di dalam bab ini beliau membawakan hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi penyembelihan onta kurban beliau dan beliau berpesan kepadaku untuk tidak memberikan upah atas penyembelihannya barang sedikitpun.’ (HR. Bukhari [1716]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari teks riwayat yang dibawakan oleh Bukhari tersebut, “Zahir hadits ini menunjukkan tidak boleh memberikan upah kepada jagal (penyembelih kurban) sama sekali. Namun maksud sebenarnya adalah tidak boleh memberikan bagian hewan kurban kepada jagal barang sedikitpun sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim [No 1317 dari Ali, lihat Sahih Muslim cet. Darul Kutub Ilmiyah, hal. 489. Pent].” Kemudian, Ibnu Hajar juga menerangkan bahwa maksud hadits ini ialah tidak boleh memberikan bagian dari hewan kurban kepada jagal sebagai pengganti upahnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Nasa’i, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, “Dan (aku) sama sekali tidak boleh memberikan bagian dari hewan kurban sebagai upah atas penyembelihannya.” (lihat Fath Al-Bari, 3/630).
Dalam bahasa Arab, upah untuk jagal yang diambil dari bagian hewan yang disembelih disebut Juzarah (dengan huruf jim didhommah) sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir. Akar kata juzarah pada asalnya bermakna bagian-bagian ujung dari tubuh onta yaitu; kepala, kedua tangan dan kedua kakinya, karena dahulu para tukang jagal biasa mengambilnya sebagai upah atas pekerjaan mereka. Sedangkan perbuatan menyembelih hewan disebut dengan jizarah (dengan huruf jim dikasrah) (lihat Fath Al-Bari, 3/630).
Dalam teks yang lain, Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib diperintahkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan onta kurbannya, dan Nabi memerintahkannya untuk membagikan seluruh bagian tubuh onta; baik itu dagingnya, kulitnya, maupun pelana [yang menempel di punggung] nya dan tidak boleh memberikan upah penyembelihan atasnya (dari bagian hewan tersebut, pent).” (HR. Bukhari [1717]).
Ibnu Khuzaimah rahimahullah mengatakan bahwa maksud ucapan ‘membagikan semua bagiannya’ adalah untuk diberikan kepada orang-orang miskin kecuali sebagian daging kurban yang diperintahkan untuk dimakan oleh pemiliknya. Beliau juga menjelaskan bahwa maksud larangan tersebut ialah tidak boleh memberikan bagian hewan kurban untuk dijadikan sebagai upah atas pekerjaannya (lihat Fath Al-Bari, 3/631).
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada ulama yang memberikan keringanan bolehnya memberikan upah untuk jagal dengan bagian dari hewan kurban kecuali Hasan Al-Bashri dan Abdullah bin Ubaid bin Umair.” Hadits ini juga dijadikan dalil oleh Al-Qurthubi untuk menyatakan tidak bolehnya menjual kulit (hewan kurban). Beliau berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa kulit hewan kurban dan pelananya tidak boleh diperjualbelikan, karena penyebutannya disertakan dengan daging [sebagaimana dalam teks; Ali diperintahkan untuk membagi daging dan kulit serta pelananya, pent] dan ia memiliki ketetapan hukum yang sama [yaitu harus dibagikan, pent].” Namun, sebagian ulama ada juga yang membolehkan menjual kulit hewan kurban seperti Al-Auza’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur, dan ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah. Namun, pendapat mereka tertolak berdasarkan sebuah hadits yang marfu’ (sampai kepada Nabi) melalui penuturan Qatadah bin Nu’man, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memperjualbelikan daging kurban! Bagikan, makanlah sebagian, dan manfaatkanlah kulit-kulitnya namun jangan diperjualbelikan. Apabila kalian memberikan makan (bersedekah) dari dagingnya maka makanlah (sebagiannya) jika kalian mau.” (HR. Ahmad) (lihat Fath Al-Bari, 3/631).
Ulama lain yang berpendapat tidak bolehnya memberikan upah kepada jagal dengan bagian hewan kurban -baik daging ataupun kulitnya- adalah Al-Baihaqi rahimahullah sebagaimana dalam Sunannya beliau membuat bab dengan judul ‘Penyebutan keterangan bahwa jagal tidak boleh diberi upah dari bagian hewan kurban barang sedikitpun’ kemudian beliau menyebutkan hadits Ali sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas. Di tempat yang lain beliau juga membuat bab dengan judul ‘Tidak boleh memberikan daging kurban maupun kulitnya kepada jagal sebagai upah atas pekerjaannya’, kemudian beliau menyebutkan hadits yang sama (lihat Sunan Al-Baihaqi, Hadits no. 4022 dan 10021. Islamspirit.com).
Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan ‘Tidak boleh memberikan bagian hewan kurban untuk upah bagi jagal’. Beliau berdalil dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim di atas dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Hikmah tidak diperbolehkan mengupah jagal dari bagian hewan kurban itu menurut beliau adalah karena mengupah dengan bagian hewan kurban itu sama artinya dengan menjual bagian hewan tersebut, padahal menjual daging atau kulit hewan kurban adalah perbuatan yang dilarang. Ash-Shan’ani juga mengatakan bahwa mayoritas ulama berpendapat tidak boleh menjual kulit hewan kurban kecuali Abu Hanifah (lihat Subulus Salam, 7/340-341. Cet. Dar Ibnul Jauzi).
Lalu bagaimana kita menghargai jerih payah jagal? Hal ini telah dijawab oleh Ali bin Abi Thalib dengan persetujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami -sohibul qurban- akan mengupahnya dari harta kami sendiri.” (HR. Muslim [1317]). Maka seyogyanya bagi sohibul qurban untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk mengupah penyembelih kurban.
Namun, mungkin masih tersisa satu pertanyaan; bolehkah jagal atau panitia kurban menikmati daging hasil sembelihan tersebut? Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali -semoga Allah menjaganya- mengatakan, “…Bahkan dibolehkan bagi penyembelih untuk mendapatkan sebagian daging kurban karena yang dilarang adalah mengambil sebagian daging qurban sebagai ganti upah menyembelihnya, karena penyembelih termasuk yang berhak menerima daging qurban.” (Berqurban bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, artikel Majalah Al-Furqon, edisi 5 tahun ke-7 hal. 37). Di antara dalil yang mendukung pendapat ini -sejauh yang kami ketahui- adalah ayat (yang artinya), “Maka makanlah sebagian dagingnya dan berilah makan kepada orang yang tidak meminta-minta dan orang yang meminta-minta…” (QS. Al-Hajj : 36).
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Adapun apabila upahnya sudah dibayarkan secara penuh kemudian (bagian hewan kurban itu) disedekahkan kepadanya karena dia termasuk orang miskin -sebagaimana halnya bersedekah kepada orang-orang miskin yang lain- maka hal itu tidak mengapa.” Sebagian ulama mengatakan bahwa memberikan daging kurban kepada jagal sebagai sedekah atau hadiah -dan memberi makan dengan daging kurban termasuk di dalamnya- atau sebagai tambahan atas hak (upah)nya maka berdasarkan analogi hal itu diperbolehkan (lihat Fath Al-Bari, 3/631).
Syaikh Abdullah Al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Penyembelih kurban tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas penyembelihannya dengan kesepakatan para imam. Yang diperbolehkan adalah memberikan daging/bagian hewan kurban kepadanya sebagai hadiah untuknya -apabila dia tergolong kaya- atau dalam rangka bersedekah (kepadanya) jika dia tergolong miskin. Apalagi jika dia sangat menginginkannya karena dia lah orang yang langsung turun tangan mengurusi penyembelihannya, dengan ini maka keumuman hadits tersebut menjadi terkhususkan.” (Taudhihul Ahkam, 7/92-93).
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.